Saturday, May 4, 2013

Pilih Mana?


Ada 3 kondisi. Kita sebut kondisi “A”,”B”,dan “C”.

Karena yang akan menjadi pilihan adalah kondisi “A” dan “C”, jadi kita mulai dengan mendeskripsikan kondisi “B” terlebih dahulu.

Kondisi “B” adalah kondisi dimana semua terjadi biasa-biasa saja. Cukup, tidak berkekurangan, juga tidak berlebihan. Terdapat kesehatan yang biasa-biasa saja (tidak ada sakit penyakit), juga ada uang yang pas-pasan untuk hidup (makan, berpakaian, dan bertempat tinggal). Keluarga, teman, dan semua orang yang disayangi juga masih ada pada tempatnya. Dalam kondisi ini juga kita bebas dari segala masalah, tapi juga gak nyaman-nyaman banget. Intinya, biasa-biasa aja.


Well, saatnya masuk pada opsi “A” dan “C”.


Kondisi "A"

Kita diperhadapkan terhadap berbagai masalah, kesulitan, dan/atau penyakit (termasuk juga..patah hati mungkin?). Dalam kondisi ini kita berkekurangan/mengalami kehilangan, baik itu kekurangan/kehilangan uang, kesehatan, maupun kasih sayang dan perhatian dari orang lain (apalagi dari orang yang kita sayangi).
Dalam kondisi ini kita mau gak mau (dipaksa) harus belajar apa yang namanya itu panjang sabaaar, rendah hati, tidak memaksakan kehendak kita yang terjadi (karna bakal percuma toh? wong segimanapun dipaksa, kenyataan tetap berkata lain :p), tekun berdoa, dan belajar berserah sepenuhnya sama Tuhan (yang otomatis semakin mendekatkan kita pada Tuhan). Semua itu mesti kita pelajari, karna kalau tidak (maksudnya ketika kita tidak bisa sabaran, suka ngototan, marah sama Tuhan, apalagi kalau sampai meninggalkanNya), kita hanya akan memperparah kondisi yang sedang kita hadapi.


Kondisi "C"

Kebalikan dari kondisi "A", disini kita akan mengalami yang namanya berlebihan materi, hidup enak, dimanja, dan berlebihan perhatian dan kasih sayang. Kondisi ini berpotensi besar membuat kita lembek, kurang dewasa, dan kurang terbentuk dalam karakter.


Jadi pilih mana? Kondisi “A” atau kondisi “C”?
Kalau dari segi enaknya, tentu hampir semua kita memilih kondisi “C”

Well, sekarang bagaimana kalau kita jadikan si kondisi “B” sebagai acuannya.

Maksudnya ketika terjadi masa transisi dari kondisi “A”/”C” ke kondisi “B”. ;)

Kita bergerak terlebih dahulu dari kondisi "A".
Kita yang tadinya untuk bisa makan dan punya tempat tinggal saja mesti berutang sana sini, sekarang sudah punya uang sendiri yang cukup untuk bisa makan dan punya tempat tinggal. Kita yang tadinya bisa hidup tanpa rasa sakit saja mesti ditopang sama obat-obatan dan makanan-makanan tertentu, bahkan lebih parahnya lagi kalau untuk mendapatkan oksigen yang kebanyakan orang menerimanya gratis kita mesti bayar mahal untuk memperolehnya, sekarang semuanya menjadi sehat-sehat saja. Dan kita yang tadinya merasa kekurangan kasih sayang dan perhatian dari orang lain, sekarang sudah memperoleh perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang-orang terdekat kita.
How is your feeling then? Tidakkah kita akan merasa sungguh sangat-sangat bersyukur, sampai-sampai pengen bikin acara syukuran, traktir teman sana-sini, lonjak-lonjak kegirangan, dan tersenyum sumringah tiada henti? *maaf lebay :p* Tapi sadar tidak sadar, yang kita syukuri itu sebenarnya hanyalah hal-hal yang biasa-biasa saja bagi orang-orang yang selama ini berada dalam kondisi “B”. Tapi dengan pernah mengalami kondisi “A” sebelumnya, kita bisa jadi merasa lebih bahagia dari mereka yang sudah lama menerima kondisi “B”. :)

Sekarang giliran kondisi “C” yang mengalami transisi.
Siapkah kamu membayangkan kamu yang tadinya punya uang yang lebih dari cukup, sangat berlebihan, bahkan sampai ada yang untuk dibuang-buang percuma (termasuk mungkin ada yang untuk dibakar dan merusak kesehatan), sekarang jadi punya duit yang pas-pasan saja untuk makan, tempat tinggal dan kebutuhan primer lainnya? Dan lain-lain yang ada padamu yang berlebihan ditarik, sehingga menjadi biasa-biasa aja. Tidak berkekurangan loh. Hanya menjadi biasa-biasa aja.
Pertanyaan yang sama dengan yang di atas, how is your feeling then? Kemungkinan besar kita bukannya tetap bersyukur karna masih dipelihara Tuhan, tapi malah menjadi suka mengeluh dan terobsesi agar masa-masa kejayaan datang kembali..


Mensyukuri hidup & hidup yang mengeluh, mana yang kamu pilih?
Kedewasaan & kekanakan, mana yang kamu pilih?
Kondisi “A” & kondisi “C”, mana yang akan kamu pilih?

Sebenarnya pertanyaan ini bukan untuk dijawab. Karna tulisan ini gak bermaksud untuk bikin kita jadi mengagung-agungkan kondisi “A” dan antipati terhadap kondisi “C”. Tapi lebih kepada bagaimana sikap hati kita terhadap semua kondisi itu. Bagaimana agar kita selalu bersyukur dalam segala kondisi (khususnya bersyukur untuk kondisi “A” yang telah banyak membentuk karakter kita), serta tidak menaikkan standar hidup (khususnya ketika berada pada kondisi "C").

Standar hidup.
Ini yang jadi pergumulanku akhir-akhir ini. Jujur, ide tulisan ini muncul, karna aku pikir aku sedang merasakan kondisi “C” akhir-akhir ini. Aku mulai terbuai sama kenyamanan yang diberikan oleh kantor: jalan-jalan ke kota sana-sini, terima duit ini-itu, dan dijamu makanan yang mewah-mewah. Sebenarnya hampir tidak ada yang salah dengan itu sepanjang masih dilakukan dalam batas-batas aturannya. Yang jadi masalah adalah ketika aku pun mulai menaikkan standar hidupku.

Aku yang dulunya it’s okay dengan hp yang gak bisa dipake untuk mem-foto, skarang jadi suka kesal dalam hati kalau hp yang skarang yang lumayan canggih yang sudah memberiku banyak kemudahan, mulai agak lola dalam meng-capture gambar (padahal karna perbuatanku sendiri). Aku yang tadinya it’s okay jalan kaki, mulai jadi manja harus naik motor/angkot ke tempat yang dekat sekalipun. Aku yang tadinya it’s okay naik pesawat apa aja, mulai jadi menggumam “yaaah” dalam hati kalau tidak jadi naik Garuda. Gawat!

Kesadaran ini membawaku teringat pada ayat yang menjadi one of my live verse,”Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21). Ini perkataan Ayub ketika ia kehilangan semuanya anak-anaknya, semua hartanya, dan juga kesehatannya! Bukannya mencaci-maki Tuhan, dia malah menyadarkan dirinya bahwa standar hidupnya adalah “telanjang” atau “ketidakpunyaan”. Ini membuatnya ketika materi dan segala yang lain bertambah begitu luar biasa, itu tidak mengubah kenyataan “datang dan pergi telanjang”.

Hidup yang demikian membuat kita berdaya tahan tinggi terhadap kehilangan, karena memang kita sebenarnya tidak punya apa-apa. Hidup demikian juga membuat kita sangat leluasa: hidup di atas bisa, di bawah pun bisa. Ayub pernah menjadi orang yang paling kaya di seluruh negerinya dan sekarang jatuh menjadi orang paling miskin di seluruh negeri. Ayub tidak menjadi stress, atau rendah diri.

Hidup seperti itu juga akan membuat kita merasa kaya, karena memiliki sehelai baju dan sepiring nasi itu sudah melampaui ketidakpunyaan, atau dengan kata lain, sudah merupakan kemewahan bagi kita yang seharusnya “datang dan pergi telanjang”.

Aku juga ingin seperti Ayub, yang selalu berstandarhidupkan ketidakpunyaan sehingga hidup bisa lebih lepas, lebih leluasa berbagi, dan lebih menikmati dan mensyukuri hidup.  *Siapapun yang membaca tulisan ini tolong agar mendoakan pergumulanku yang satu ini. :)

Well, kembali ke judul di atas “Pilih Mana?”. Lagi-lagi, sebenarnya bukan tentang memilih kondisi kehidupan kita (karena bagaimana pun kita tidak punya kuasa atas apa yang terjadi dalam kehidupan kita), namun memilih bagaimana sikap hati kita terhadap apapun yang terjadi di hadapan kita. Akankah selalu bersyukur atau selalu mengeluh? Akankah ngotot mempertahankan segala sesuatu yang fana atau melepaskan diri dari segala keterikatan dan mudah berbagi kepada orang lain? Akankah hidup sengsara atau hidup bahagia?

Apapun yang terjadi pada perasaan kita, sesungguhnya itu adalah tanggung jawab kita. Ya, tanggung jawab kita dalam memanajemen hati dan pikiran kita. :)


Tuhan memberkati